Senin, 25 Juni 2012

Semalam di Binaya, Sebuah Catatan Singkat Perjalanan Pendakian Binaya


Surat undangan pendakian puncak Binaya itu ternyata masih terselip rapi pada bundelan surat-surat masuk yang ada di bagian umum dan persuratan di kantor saya, padahal surat tersebut sebetulnya telah sampai di kantor seminggu sebelumnya, hanya saja karena kesibukan saya yang jarang berada di kantor selama 1 minggu belakangan ini karena harus menangani kegiatan di lapangan membuat surat tersebut harus tertahan di sana selama 1 minggu lebih, beruntung pelaksanaan kegiatan “Tracking Binaya”-seperti yang tertera di surat undangan, masih dalam jangka waktu semingguan lagi. Surat undangan resmi dari pihak Balai Taman Nasional Manusela ini sudah saya tunggu-tunggu sejak sebulan yang lalu sejak salah satu teman yang bertugas di Taman Nasional Manusela mengabarkan rencana kegiatan itu. Pendakian ke Binaya merupakan salah satu obsesi yang harus saya pendam selama 3 tahun terakhir ini, siapa pula yang tidak tergoda dengan pendakian salah satu Seven Summits Indonesia yang merupakan perwakilan puncak tertinggi  dari daratan Maluku dan Maluku Utara dalam konsep pendakian gunung yang dipopulerkan oleh Hendri Agustin sejak 2008. Dalam sebuah situs di internet yang dirilis oleh Hendri Agustin, sang penggagas Seven Summit Indonesia , tercatat bahwa baru seorang Dody Johan Jaya pada bulan Juli 2011 yang mengaku telah menempuh ke tujuh puncak tersebut, menurut rumor yang beredar dia adalah seorang presenter salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia yang juga merupakan anggota Mapala UI. Walaupun tidak tertutup kemungkinan ada orang lain yang telah mendahuluinya, hanya saja mungkin kurang diekspos selama ini, atau tidak ingin mengekspos diri. Tak banyak ditemui catatan tentang perjalanan pendakian ataupun ekspedisi gunung Binaya, beberapa organisasi pecinta alam atau penggiat kegiatan alam terbuka cenderung tidak mempublikasikan catatan perjalanan yang mereka miliki, andai pun ada hanya bisa diperoleh dengan mengontak langsung individu yang pernah melakukan pendakian ke sana.
Banyak sudah para pendaki-pendaki tangguh dari pulau jawa yang berusaha mengakrabi dan menjajaki tantangan di jalur Binaya, entah itu melalui jalur Utara maupun jalur Selatan. Mulai dari ekspedisi Mapala UI pada tahun 1999, seakan tak mau kalah, Wanadri pun telah menjejakkan kakinya sejak lama di puncak Binaya, begitu menurut catatan pihak Taman Nasional Manusela selaku pengelola kawasan konservasi ini. Memang terdengar sepele jika hanya melihat pada tingginya puncak Binaya, dengan puncak tertingginya hanya berkisar pada ketinggian 3027 mdpl, beberapa gunung di pulau Jawa banyak yang memiliki ketinggian yang tak jauh beda dengan puncak Binaya atau bahkan lebih tinggi, namun bisa dicapai dengan mudah. Lain halnya dengan Binaya, dimana waktu efektif perjalanan dengan rute paling cepat untuk mencapai puncak bisa menghabiskan selama 4-5 hari, itupun belum termasuk perjalanan kembali turun dari puncak.  Salah satu stasiun televisi swasta tanah air pernah melakukan perjalanan selama 20 hari untuk perjalanan naik dan turun gunung Binaya, sedangkan menurut para anggota pecinta alam yang bermarkas di Maluku sendiri, perjalanan paling cepat bisa ditempuh selama 7-8 hari perjalanan, dengan catatan yang melakukan pendakian adalah orang yang terampil dan terlatih. Beragam medan pendakian yang disuguhkan, mulai dari jalan lebar dengan pengerasan pasir dan batu, berjalan menyusuri badan sungai sepanjang hari, jalur datar setengah hari penuh tanpa pemandangan berarti, jalur berlumpur hingga sedalam lutut saat musim penghujan tiba, serta medan terjal berbatu cadas tajam dan labil dengan jurang yang seolah tak berujung di kiri dan kanan jalurnya.
Judul kegiatan yang dilakukan dalam rangka perayaan ulang tahun Taman Nasional Manusela ke-15 ini adalah “Tracking Binaya”. Kegiatan ini adalah wujud sukacita pengelola kawasan konservasi di bagian tengah pulau terbesar di kepulauan Maluku yang terkenal dengan julukan “Nusa Ina” (Nusa ina berarti “pulau ibu”, sebagian besar masyarakat yang ada dikalangan masyarakat Maluku dan Maluku Utara menganggap bahwa pulau Seram yang berjuluk Nusa Ina merupakan pulau induk dimana seluruh penduduk aslinya menyebar dari pulau ini ke seluruh penjuru Maluku dan Maluku Utara) ini dalam menyambut bertambahnya usia salah satu kawasan konservasi yang berstatus Taman Nasional ini selain juga sebagai ajang promosi bagi dunia pariwisata di lingkup propinsi Maluku. Tak kurang dari 50 orang berpartisipasi menyukseskan acara ini dalam kegiatan pendakian yang dilakukan selama lebih kurang 9 hari dari tanggal  14 Mei s/d 22 Mei 2012. Menurut pihak Balai Taman Nasional Manusela, jalur yang dilewati dalam kegiatan Tracking Binaya tahun 2012 merupakan jalur dengan waktu tempuh yang paling singkat. Jalur ini bermula dari desa Huaulu yang berada di bagian Utara Taman Nasional Manusela, dan berujung di desa Yaputi, kecamatan Tehoru yang terletak jauh di Selatan kawasan Taman Nasional. Lebih detilnya jalur yang dilalui dalam kegiatan “Tracking Binaya” kali ini adalah : desa Huaulu-dusun Roho-Waisamata-desa Kanikeh-Waensela-Waehuhu-Waefuku-Puncak Binaya-Nasapeha-Aimoto-desa Piliana-desa Yaputi. Sepanjang perjalanan akan disuguhkan pemandangan asri dan memukau, jalur yang dapat dengan segera memacu adrenalin mengalir deras, bercengkerama dengan penduduk asli yang tinggal jauh di pedalaman dengan kearifan lokalnya, serta berbaur dengan kemegahan dan keperkasaan alam khas Binaya.
Memang diperlukan persiapan dan bekal yang matang dalam perjalanan ini, baik fisik, mental, juga perlengkapan. Tentu saja sensasi dan pengalaman yang nanti didapat sepanjang perjalanan merupakan hal yang sepadan dengan segala tantangan dan resiko yang menyertainya. Terisolasinya kawasan taman nasional Manusela merupakan berkah sekaligus surga bagi para penyuka dan penggiat kegiatan alam terbuka, satu dari segelintir kecil kawasan hutan pegunungan di negeri tercinta yang masih menawarkan sejuta pesona di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang melanda. Jika anda cukup kuat secara fisik dan mental, punya waktu luang untuk bertualang, mungkin layak mencoba melakukan pendakian ke Binaya, satu dari 7 tiang “atap tertinggi” negeri ini.


#Dokumentasi pribadi narsis dan semi narsis sepanjang perjalanan

















»»  Baca Selengkapnya...

Semalam di Pelalawan

#jaman masih susah, dikejar-kejar personalia, dengan denda ratusan juta rupiah

Selintas teringat potret kampung halaman tempat kelahiran bertahun silam. Ketika pulang berhampa tangan diberondong kekalahan, setelah berjibaku selang beberapa waktu di negeri pulp pangkalan kerinci. Sebuah perusahaan yang mempekerjakan ribuan orang di tepian sungai siak dan kampar, juga tak luput pesisir sungai rokan. Sebuah perusahaan yang konon merupakan perusahaan multinasional, dengan tenaga kerja dan pakaian mentereng, khas berwarna oranye untuk staf lapangan, beralaskan sepatu ujung besi, sepatu safety kami lebih senang menyebutnya. Mencoba mengabdi dan menguji peruntungan di sebuah perusahaan patungan konglomerat kaya negeri ini, demi sepenggal harapan tentang percikan masa depan, walaupun pada akhirnya memilih jalan pengasingan di kampung halaman bukanlah hal yang nyaman.

Di simpang empat jalan itu kita selalu berbincang, terkadang hingga tengah malam menjelang, tentang angan, harapan, juga berita murahan,  atau tentang hidup, kebenaran, dan kenyataan, yang semuanya bahkan tak mampu untuk kita rumuskan.

Kau, aku, dan dia, terkadang kita bertiga, lalui malam hingga sempurna, hampir memecahkan teka-tekinya. Di bawah temaram lampu jalan. Tak jarang kita lewatkan bahasan ringan menyinggung iman, tuhan, atau pun hanya sekedar tentang teori keikhlasan.

Tak pernah mewah memang hidangan kita, hanya sekedar air tahu ataupun secangkir kopi hitam dengan bangku dan meja orang berjualan yang menjorok ke badan jalan saat malam mulai menjelang. Setelah seharian memeras peluh membongkar pasir, kerikil, bata merah, atau bersak-sak semen. Bermandikan cahaya bintang dan bulan jika langit tak sedang berawan, tentu saja tak jarang juga berhamburan saat musim penghujan tiba. Tak ada obrolan tentang tipu-tipu orang, tiada juga obrolan tentang uang milyaran, tapi kita tetap bisa nyaman.

Lalu khasnya hukum alam dalam setiap perjumpaan, selalu saja berujung pada perpisahan. Kita kini telah berjauhan, menghadapi kenyataan dan harapan yang tak lagi sealur, menjalani masing-masing jalan kehidupan. Semuanya memang tak mudah, tak cukup bermodalkan lidah dan ludah, sudah barang tentu juga kita tak akan pernah menyerah. 


Di persimpangan jalan itu juga kita berpisah menyusuri tiap jalan. Jalan pintas ke negeri jiran, jalan pengubah ritme kehidupan, jalan hijrah ke negeri impian atau jalan kembali ke negeri kenangan. 


Ini bukanlah sebuah cerita dari prestasi yang gagah berani
Ini adalah antara 2 hidup yang berlari paralel sebentar (antara cita-cita dan idealisme)
Dengan cita-cita umum dan mimpi yang serupa
Apakah visi yang telah dibiaskan terlalu jauh
Atau hanya sekedar hidup yang terus mengalir
Mungkin...
Pengembaraanku
Telah merubahku lebih dari yang kupikir
Aku bukanlah diriku lagi
Setidaknya, aku tidak sama dengan aku lagi...


#terima kasih bang jenggot, atas masa2 sulit yang telah terlewati itu di rimba Acacia, negeri lancang kuning  beberapa tahun silam.
»»  Baca Selengkapnya...

Rabu, 20 Juni 2012

Mungkin Tahu



aku tahu,
akan sampai saatnya nanti
seperti saat ini
semua harus diakhiri
ketakutan tiada terperi
berjajar pada mistar ruang rapi
tertimbun mengendap sepi,
hempasan rintik hujan
sepi memikat
banjir menghujat
longsor jiwa susul menyusul

aku pun tahu
semuanya tak pernah nyata
tergambar dalam bayang ilusi semu
tersuruk dalam kabut entah
tertimbun pada ruang ragu
sesekali diterpa cahaya
tak cukup membuatnya bermaya

maka
mari kita senandungkan lupa
pada jiwa mekar merona
tak perlu membebat luka
sendiri ia temukan makna

#terima kasih atas kesempatan dan waktu luang yang telah diberikan, biarkanlah waktu yang melesat cepat perlahan-lahan menimbun semua mimpi-mimpi usang nan sederhana itu..

»»  Baca Selengkapnya...

Minggu, 17 Juni 2012

Tak Mungkin



Taufik Ikram Jamil:



Engkau amat setia kepada tubuhmu
hingga bayang-bayangmu pun
tak mungkin kuharapkan

Aku dagang lalu
tak mengenal diri
jauh tak jarak
dekat tak gapai-gapai

maka aku pun lewat
kemudian menuju diriku
dengan risau sebagai hala

halalkanlah mata dan pandanganku
yang pernah tersangkut
di hatimu paling pinggir
agar bisa kuingat
masa-masa indah bersamamu
hingga aku waspada
terhadap keburukan 
yang menjadi detak di jantungku

maafkanlah lidah dan ucapanku
yang pernah kau mamah
di lambungmu paling kecil
hingga dapat kunikmati
saat-saat manis bersamamu
hingga aku tahu
tentang kepahitan
yang menjadi rasa di empeduku

lalu biarkanlah kusimpan acuhmu
dalam buntalan yang kupikul
supaya aku sadar
bahwa ada orang lain yang kau cintai
hingga dikau
tak kekurangan kasih sayang

nafasku akan mendoakan kebahagiaanmu
setiap melangkah
langkahku akan mengaminkan ceriamu
bahkan lenggang tanganku
hanya akan mau berayun
saat engkau merasa begitu tersanjung

(: semalaman tak kuasa mata terpejam
berjuta rasa tak berasa menghunjam jiwa
perihnya melebihi seribu sembilu memarut dada
tertidur sebentar tak lena
terbangun di saat dhuha
kehilangan sadar
berharap semua hanya mimpi belaka


tapi kenyataan memang tak bisa berdusta
semuanya terjadi di depan mata
begitu saja
bak petaka
datang tanpa pengharapan
pergi dalam kesunyian
sehening tibanya dahulu)

#semuanya hadir penuh makna, semuanya berlangsung sempurna, semoga senantiasa bahagia...

»»  Baca Selengkapnya...

Jumat, 08 Juni 2012

Hujan Bulan Juni


Sapardi Djoko Damono
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
»»  Baca Selengkapnya...

Sabtu, 02 Juni 2012

Mencari Sebuah Masjid



Taufik Ismail


Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya dari pepohon di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat bersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan digosok topan kutub utara dan selatan.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Qur'an dengan warna platina dan keemasan
bentuk daun-daunan sangat teratur serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas berjalin bergaris-garis gambar putaran angin.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang menara-menaranya menyentuh lapisan ozon dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat jadi renda benang emas yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang letaknya dimana bila waktu azan lohor engkau masuk kedalamnya
engkau berjalan sampai waktu ashar, tak kan capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu bershalatlah dimana saja
di lantai masjid ini yang besar luar biasa.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan ke susunan syaraf pusat manusia
dan jadi ilmu berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta terletak disebelah menyebelah masjid kita.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang beranda dan ruang dalamnya tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalaupun ada pertikaian bisalah diuraikan dalam simpul persaudaraan sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga terbentang di sebuah masjid yang sama.
Tumpas aku dalam rindu. Mengembara mencarinya.
Dimanakah dia gerangan letaknya?

Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika dipuncak tergelincir sempat lewat seperempat kwadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan akupun melayangkan pandangan mencari masjid itu kekiri dan kekanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan, dia berkata

Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan,
dia menunjuk tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir teraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan

Akupun dibawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku kali ketiga secara perlahan hangat air yang terasa, bukan dingin.
Kiranya demikianlah air pancuran bercampur dengan air mataku yang bercucuran.



[dari Festival Istiqlal Oktober/November 1991]
»»  Baca Selengkapnya...