Senin, 25 Juni 2012

Semalam di Pelalawan

#jaman masih susah, dikejar-kejar personalia, dengan denda ratusan juta rupiah

Selintas teringat potret kampung halaman tempat kelahiran bertahun silam. Ketika pulang berhampa tangan diberondong kekalahan, setelah berjibaku selang beberapa waktu di negeri pulp pangkalan kerinci. Sebuah perusahaan yang mempekerjakan ribuan orang di tepian sungai siak dan kampar, juga tak luput pesisir sungai rokan. Sebuah perusahaan yang konon merupakan perusahaan multinasional, dengan tenaga kerja dan pakaian mentereng, khas berwarna oranye untuk staf lapangan, beralaskan sepatu ujung besi, sepatu safety kami lebih senang menyebutnya. Mencoba mengabdi dan menguji peruntungan di sebuah perusahaan patungan konglomerat kaya negeri ini, demi sepenggal harapan tentang percikan masa depan, walaupun pada akhirnya memilih jalan pengasingan di kampung halaman bukanlah hal yang nyaman.

Di simpang empat jalan itu kita selalu berbincang, terkadang hingga tengah malam menjelang, tentang angan, harapan, juga berita murahan,  atau tentang hidup, kebenaran, dan kenyataan, yang semuanya bahkan tak mampu untuk kita rumuskan.

Kau, aku, dan dia, terkadang kita bertiga, lalui malam hingga sempurna, hampir memecahkan teka-tekinya. Di bawah temaram lampu jalan. Tak jarang kita lewatkan bahasan ringan menyinggung iman, tuhan, atau pun hanya sekedar tentang teori keikhlasan.

Tak pernah mewah memang hidangan kita, hanya sekedar air tahu ataupun secangkir kopi hitam dengan bangku dan meja orang berjualan yang menjorok ke badan jalan saat malam mulai menjelang. Setelah seharian memeras peluh membongkar pasir, kerikil, bata merah, atau bersak-sak semen. Bermandikan cahaya bintang dan bulan jika langit tak sedang berawan, tentu saja tak jarang juga berhamburan saat musim penghujan tiba. Tak ada obrolan tentang tipu-tipu orang, tiada juga obrolan tentang uang milyaran, tapi kita tetap bisa nyaman.

Lalu khasnya hukum alam dalam setiap perjumpaan, selalu saja berujung pada perpisahan. Kita kini telah berjauhan, menghadapi kenyataan dan harapan yang tak lagi sealur, menjalani masing-masing jalan kehidupan. Semuanya memang tak mudah, tak cukup bermodalkan lidah dan ludah, sudah barang tentu juga kita tak akan pernah menyerah. 


Di persimpangan jalan itu juga kita berpisah menyusuri tiap jalan. Jalan pintas ke negeri jiran, jalan pengubah ritme kehidupan, jalan hijrah ke negeri impian atau jalan kembali ke negeri kenangan. 


Ini bukanlah sebuah cerita dari prestasi yang gagah berani
Ini adalah antara 2 hidup yang berlari paralel sebentar (antara cita-cita dan idealisme)
Dengan cita-cita umum dan mimpi yang serupa
Apakah visi yang telah dibiaskan terlalu jauh
Atau hanya sekedar hidup yang terus mengalir
Mungkin...
Pengembaraanku
Telah merubahku lebih dari yang kupikir
Aku bukanlah diriku lagi
Setidaknya, aku tidak sama dengan aku lagi...


#terima kasih bang jenggot, atas masa2 sulit yang telah terlewati itu di rimba Acacia, negeri lancang kuning  beberapa tahun silam.

Posting Komentar