Rabu, 31 Maret 2010

Kampus Depok

:Slank

Banyak orang bicara tentang kebebasan

Banyak orang bicara tentang keyakinan

Dan banyak orang bicara tentang keadilan

Banyak orang bicara tentang perubahan



Semua cuma dalam bisikan

Semuanya nggak berbuat apa-apa



Banyak orang melihat manipulasi teman-temannya

Banyak orang melihat cara-cara kekerasan

Dan banyak orang melihat kesewenangan Kekuasaan

Banyak orang melihat segala kebobrokan



Semuanya hanya tutup mata saja

Semuanya nggak berbuat apa-apa
»»  Baca Selengkapnya...

Selasa, 30 Maret 2010

Kabar Dari Melva

apa kabar, tuan penyair
puisi-puisi mu telah habis ku baca
tapi, maaf, aku masih saja tersihir
oleh kata-kata di layar kaca


Badui U Subhan
»»  Baca Selengkapnya...

Tebing Betapa Curam...

Tebing Betapa Curam, Jurang Betapa Dalam Tak Tampak Kedua-duanya


Taufiq Ismail

Desa kami terletak di kaki gunung yang sangat indahnya
Berpagar perbukitan dengan deretan pohon cemara
Sawah luas terhampar, hijau muda dalam warna
Ladang palawija sangat subur pula keadaannya
Dari jauh tampak ternak kerbau, sapi, ayam dan domba
Kemudian kawanan burung terbang di udara
Tampak menembus awan tak bersuara

Walaupun alam desa kami indah keadaannya
Tapi kami belum makmur sesuai dengan cita-cita
Kemiskinan tidak teratasi seperti semestinya
Berbagai penyakit datang dan pergi bergantian saja
Beri-beri, diare, cacar, busung lapar, juga penyakit mata
Anehnya banyak warga sakit katarak dan radang glaukoma
Sehingga banyak yang rabun bahkan sampai buta
Sehingga dokter Puskesmas sibuk mengobati warga desa

Di barat desa ada sebuah tebing yang curam
Dibatasi sebuah lingkaran oleh jurang yang dalam
Di atas tebing itu terhampar datar lapangan lumayan luasnya
Di sana anak-anak kecil berkejar-kejaran dengan leluasa
Bermain-main, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tertawa-tawa

Karena penduduk desa cinta pada anak-anak mereka
Masih waras dan tak mau anak-anak celaka
Termasuk juga untuk orang-orang dewasa
Maka di tepi tebing dibikinkan pagar sudah lama
Terbuat dari kayu, sudah tua, terbatas kekuatannya
Agar tidak ada yang kepleset terjatuh ke jurang sana

Tebing itu lima puluh meter tingginya
Batu-batu besar bertabur di dasarnya
Semak dan belukar di tepi-tepinya
Hewan buas dan ular penghuni lembahnya
Kalau orang terjatuh ke dalamnya
Akan patah, cedera, cacat dan gegar otaknya

Nah, pada suatu hari
Ada sebagian kecil penduduk desa berdemonstrasi
Menuntut yang menurut mereka sesuatu yang asasi
Dengan nada yang melengking dan tinggi
Tangan teracung, terayun ke kanan dan ke kiri
Dalam paduan suara yang di usahakan harmoni

“kami menolak pagar itu, apa pun bentuknya
Pagar itu kan untuk anak-anak di bawah usia
Itu tak perlu untuk kami yang dewasa
Bahkan juga untuk anak-anak biarkan saja
Kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya
Tidak peduli alasan lama kalian dari zaman kuno
Pagar ini produk fikiran masa dahulu sudah lama
Cabut pagar itu, buang ke keranjang sampah saja

Pagar tebing itu adalah bentuk diskriminasi kuno
Kini waktunya orang menghargai kebebasan sebebas-bebasnya
Seperti negeri luar yang sangat maju keadaannya
Kita harus meniru negeri luar agar maju pula

“Apa itu pagar? Kenapa pelataran ini dibatas-batas?
Tubuh kami ini hak kami
Kami menggunakannya semau hati sendiri
Apa itu pembatasan?
Konsep kuno, melawan kebebasan
Cabut itu pagar, semuanya robohkan!”

Demo itu berlangsung, hiruk-pikuklah terdengar suara
Heboh seantero kampung dan desa
Orang-orang bertanya, lho, ini ada apa?
Kok jadi tegang suasana?

Ada yang bersikeras mau mencabut pagar semua
Tapi yang bertahan tidak sudi membiarkan mereka
Di tepi tebing beregang-reganglah mereka
“Hei, hei, hati-hati, jangan sampai jatuh ke jurang sana!
Hati-hati, jangan sampai jatuh ke jurang sana!
Mendadak mereka berhenti bersama

Ketika itu muncul seorang laki-laki dengan pengiringnya
Dia kelihatan tua dan agak berwibawa
“para hadirin, ini Nabi kami.”
Orang-orang desa terkejut, mulut mereka terkunci
Belum sempat mereka menatapnya dengan hati-hati
Muncul pula seorang perempuan dengan ajudannya
Bergaun panjang, berhiasan macam-macam di kepalanya
“Para hadirin, ini Malaikat kami.”
Orang-orang desa terkejut,mulut mereka terkunci
Belum sempat mereka menatapnya dengan hati-hati
Muncul pula seorang laki-laki dengan pengawalnya
Dia kelihatan tua dan tidak berwibawa
“Para hadirin, ini Tuhan kami.”

Dengan kedatangan tiga orang luar ini
Penduduk desa jadi sibuk mengamati
Kemudian ada warga yang mengajukan interogasi
“Lho Pak Nabi, ente kan dari desa Gunung Bunder, tidak jauh dari sini?
Waa, Bu Malaikat, rumahnya di Betawi kan dekat gang Arimbi?”
Tidak ada jawaban sama sekali.

Menyaksikan hadirnya yang mengaku Tuhan, Nabi dan Malaikat
Lalu seseorang berkata dengan cermat:

“Kita bingung ini dan harus mendapat solusi.
Mari kita hubungi orang yang ahli!
Yang ahli itu pastilah orang luar negeri
Yang jago dalam teori dan kita kagumi
Dengan terorika penuh erudisi
Yang penting liberal, walau kolonial, kita tak peduli
Sehingga mata kita jadi silau sama sekali
Tunggu, tunggu, tak ada hubungan ini
Dengan mental orang bekas jajahan koloni
Tidak ada hubungan ini
Dengan imperialisme ideologi
Tidak ada hubungan ini
Dengan sikap mental rendah diri
Ini semata-mata, semata-mata, ulangi
Ya, semata-mata, yak arena ini.”

Setelah selesai ucapan yang kacau begini
Hadirin yang tadinya tenang, menjadi ribut kembali
Kembali beregang-regang, tarik-tarikan ke sana ke sini

Tiba-tiba di ujung keributan ini
Munculah dokter Puskesmas penuh wibawa
Bersama seorang anak muda disampingnya
Dia melihat ke kanan dan ke kiri
Ketika itu penduduk desa tenang semua.
Kemudian dia angkat bicara:
“Saya telah melihat demonstrasi kalian
Saya kecewa dengan geleng-geleng kepala
Kalian semua pasien saya

Lebih dari separuh kalian kena kelainan pada mata
Kalau tidak rabun, ya buta
Kenapa kalian menghabiskan waktu berdemo juga
Padahal mata tidak bisa melihat dengan sempurna
Kasusnya katarak dan glaucoma
Gawat ini situasinya penyakit instrument mata
Virus datang dari negeri lain rupanya
Bukan Cuma dari luar desa
Begini, kita sembuhkan dulu sumber etiologinya
Gawat lho, ini situasi kesehatannya.”

Dengan hormat orang desa terdiam mendengarnya
Kemudian anak muda di samping dokter itu bicara
Dia santun, cerdas dan logis cara berfikirnya:

“bapak-bapak, paman-paman, ibu-ibu semua
Saya minta maaf urun berkata-kata
Saya heran kenapa dipandang enteng tebing curam ini
Tingginya 50 meter, sangat tinggi
Di bawahnya batu-batu besar, dalam kali
Kalau terjatuh, bakal patah-patah, gegar otak kanan dan kiri
Jadi kalau tidak di pagar, berbahaya sekali
Maaf ya, maaf, kalian yang mau cabut pagar ini
Kalau tidak rabun atau buta, ya gila

Tebing betapa curam
Jurang betapa dalam
Kok tak tampak kedua-duanya
Konsep tebing dan jurang tak mauk akal rupanya
Gara-gara katarak dan glaukoma menuju buta

Nah, tentang pagar yang memang sudah tua keadaannya
Mari kita gotong royong menggantinya
Kita bikin yang kukuh semuanya
Sehingga anak-anak dan remaja
Bias bermain-main, berlari-lari ke sini dan ke sana
Dengan aman dan gembira.”

Kepala desa akhirnya muncul paling akhir lalu bicara:
“Sedulur, masih seabreg-abreg urusan di desa kita,
Kebodohan dan kemiskinan kita, kapan akan selesainya?”
»»  Baca Selengkapnya...

Senin, 22 Maret 2010

Mandalawangi-Pangrango




Potongan puisi soe hok gie ini sempat jadi update status FB seorang teman..jadi kangen masa-masa itu..masa dimana kita masih begitu idealis...tanpa kompromi...masa-masa ketika ditempa oleh alam...belajar bersahabat dan belajar mengerti alam..kupersembahkan karya soe hok gie ini pada segenap teman-teman "seperjalanan"...semangatnya layak kita tiru..semoga tak mati muda..semoga masih sempat bernostalgila melakukan "perjalanan" bersama...




Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurang mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah dan hadapilah"


dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup



soe hoek gie
Jakarta 19-7-1966
»»  Baca Selengkapnya...

Sabtu, 13 Maret 2010

sugesti

Semua masalah dan derita yang mendera takkan pernah kunjung sirna tanpa kau bangun asa

Sisakan ruang di jiwa, hindari jumawa




: bangun selalu sugesti positif terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan masa depan; jangan pernah remehkan hal-hal kecil yang bersifat prinsipil.
»»  Baca Selengkapnya...

n/a

Kurajut tepian malam dengan dendam

Kupintal resah membuncah api sekam

Siang benderang sulut amarah

Petang menjelang kembali gundah



Tenunku pun tak rampung

Tak sudi kau maki menggerung



negeri timur jauh
Ruang rapat, 11 Maret 2010
»»  Baca Selengkapnya...

Sepi




Kutatap nanar sudut demi sudut
Tak banyak yang berubah
Belum satu mimpi pun terwujud
Tak serupa gelar zuhud

Setidaknya telah memilih
Tak usah pikirkan seribu dalih
Biar sepi
Biar pergi

:kembali hening sepi


negeri timur jauh
ruang rapat
10 maret 2010
»»  Baca Selengkapnya...

Rabu, 10 Maret 2010

Selamat Tinggal

(Alm) Chairil Anwar

Aku berkaca
ini muka penuh luka
Siapa Punya?

Kudengar seru menderu
- dalam hatiku?-
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah…!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal

Selamat tinggal…!!


12 Juli 1943
»»  Baca Selengkapnya...

Senin, 01 Maret 2010

nyenyak







Gemericik sungai
Riuh rendah seruan jangkrik malam
Senandung katak ramai
Malam semakin temaram

Langit yang terjungkit
Semerbak bau hangit
Tiada suara lain
Hentakan gapleh di atas kain

Periuk belanga penuh sesak
Kasbi rebus telah masak

Resah
Gelisah
Marah
Jengah
Menyerah

Tak kuasa bergerak
Tinggal gula secupak

Masih di jalan setapak
Tergeletak nyenyak tak bergerak


: Untuk pengabdi lagu para pengabdi
Di puncak gunung di tengah tengah samudera
Di dalam rimba di kebingungan desa dan kota
Thanks to bang iwan fals & bang jenggot..


Sahuwai, 16 Februari 2010
Negeri Timur Jauh
Kepala Air Ariate, menjelang isya di tenda darurat
»»  Baca Selengkapnya...

TAK SEPADAN





(Alm. Chairil Anwar)





Aku kira :
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk –sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943
»»  Baca Selengkapnya...