Sabtu, 02 Juni 2012

Mencari Sebuah Masjid



Taufik Ismail


Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya dari pepohon di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat bersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan digosok topan kutub utara dan selatan.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Qur'an dengan warna platina dan keemasan
bentuk daun-daunan sangat teratur serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas berjalin bergaris-garis gambar putaran angin.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang menara-menaranya menyentuh lapisan ozon dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat jadi renda benang emas yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang letaknya dimana bila waktu azan lohor engkau masuk kedalamnya
engkau berjalan sampai waktu ashar, tak kan capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu bershalatlah dimana saja
di lantai masjid ini yang besar luar biasa.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan ke susunan syaraf pusat manusia
dan jadi ilmu berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta terletak disebelah menyebelah masjid kita.
Aku rindu dan mengembara mencarinya.

Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang beranda dan ruang dalamnya tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalaupun ada pertikaian bisalah diuraikan dalam simpul persaudaraan sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga terbentang di sebuah masjid yang sama.
Tumpas aku dalam rindu. Mengembara mencarinya.
Dimanakah dia gerangan letaknya?

Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika dipuncak tergelincir sempat lewat seperempat kwadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan akupun melayangkan pandangan mencari masjid itu kekiri dan kekanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan, dia berkata

Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan,
dia menunjuk tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir teraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan

Akupun dibawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku kali ketiga secara perlahan hangat air yang terasa, bukan dingin.
Kiranya demikianlah air pancuran bercampur dengan air mataku yang bercucuran.



[dari Festival Istiqlal Oktober/November 1991]

Posting Komentar