Selasa, 18 September 2012

#3

Dua rumpun pulai bersandingkan tegakan kayu putih, diseling bibit pohon mangga yang sedang beranjak remaja. Pohon nangka masih tegak dengan jumawadi depan pelataran sebuah asrama, lebat buahnya selalu berhasil menggoda para tetangga untuk mencicipi manis dagingnya, sebanyak aku yang terlunta-lunta mencari jati diri, sebnyak kejadian tentang asmara yang selalu membekas di hati dan menyisakan tanya, betapa semua seperti sebuah lelucon belaka. Di bawah naungan pepohonan itu, berdiri anggun sebuah warung makan sederhana beratapkan rumbia, sebuah tempat yang selalu dijadikan penghuni asrama di belakangnya melewati malam-malam sepi, malam-malam untuk merajut janji hari esok yang belum pasti, tempat mereka menghabiskan malam dalam berteguk-teguk anggur merah murah meriah sambil ngerumpi tentang segala mimpi.
Aku masih terkungkung sepi dalam bilik yang lain, dalam dimensi yang berbeda, juga tentang mimpi yang bukan mimpi mereka. Bercengkerama dengan masa lalu, sibuk mencari jawab atas teka-teki yang selalu menemukan tempat untuk bersembunyi. Sendiri, ya..hanya sendiri, terkadang mereka masih sempat menertawai dibalik dengus alkohol wangi.
Dua tahun lamanya aku mencoba mengakrabi suasana yang tak pernah bisa singgah di hati, dua tahun pula aku beranjak pergi, belajar mengasingkan diri..


Posting Komentar