Dua rumpun pulai
bersandingkan tegakan kayu putih, diseling bibit pohon mangga yang sedang
beranjak remaja. Pohon nangka masih tegak dengan jumawadi depan pelataran
sebuah asrama, lebat buahnya selalu berhasil menggoda para tetangga untuk
mencicipi manis dagingnya, sebanyak aku yang terlunta-lunta mencari jati diri,
sebnyak kejadian tentang asmara yang selalu membekas di hati dan menyisakan tanya,
betapa semua seperti sebuah lelucon belaka. Di bawah naungan pepohonan itu,
berdiri anggun sebuah warung makan sederhana beratapkan rumbia, sebuah tempat
yang selalu dijadikan penghuni asrama di belakangnya melewati malam-malam sepi,
malam-malam untuk merajut janji hari esok yang belum pasti, tempat mereka
menghabiskan malam dalam berteguk-teguk anggur merah murah meriah sambil
ngerumpi tentang segala mimpi.
Aku masih terkungkung
sepi dalam bilik yang lain, dalam dimensi yang berbeda, juga tentang mimpi yang
bukan mimpi mereka. Bercengkerama dengan masa lalu, sibuk mencari jawab atas
teka-teki yang selalu menemukan tempat untuk bersembunyi. Sendiri, ya..hanya
sendiri, terkadang mereka masih sempat menertawai dibalik dengus alkohol wangi.
Dua tahun lamanya aku
mencoba mengakrabi suasana yang tak pernah bisa singgah di hati, dua tahun pula
aku beranjak pergi, belajar mengasingkan diri..
Posting Komentar