Senin, 14 November 2011

Sebuah Tinjauan Tentang Restorasi Terumbu Karang

(Disampaikan dalam Pelatihan Singkat Transplantasi Karang Sistem Rockpile, Kerjasama BKSDA Maluku dan Darmapala Universitas Darussalam, Ambon)
“Walaupun restorasi dapat membantu usaha konservasi, restorasi selalu menjadi pilihan kedua dibandingkan perlindungan habitat alami. Penggunaan restorasi ex situ (mitigasi) sebagai penggantian atas kerusakan atau degradasi habitat dan populasi dalam implementasi terbaik biasanya tidak didukung oleh bukti nyata, dan implementasi terburuk malah menyebabkan kerusakan.”
(Young, T.P. (2000). Restoration ecology and conservation biology. Biological Conservation, 92: 73-83)


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Sekitar 70% atau 2/3 dari luas keseluruhan wilayah negara kesatuan republik indonesia merupakan lautan. Indonesia merupakan negeri dengan rangkaian pulau sebanyak 17.500 , dengan garis pantai keseluruhan mencapai sekitar 18 ribu kilometer, yang berarti negara ini memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Dalam catatan, sekitar 60% dari total penduduk indonesia ( sebanyak 140 juta lebih penduduk) merupakan penduduk yang tinggal di pesisir, sebagai konsekuensi logis hal ini mengakibatkan sebagian besar penduduk indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap laut. Lazimnya pada setiap ketergantungan manusia akan sumber daya alam, dalam hal ini berupa sumber daya laut, akan mengakibatkan terjadinya tekanan terhadap sumber daya tersebut beserta komponen yang terlibat di dalamnya.
Sebagai negara bahari, indonesia sampai saat ini belum banyak memanfaatkan kekayaan lautnya. Banyak pula yang belum diketahui mengenai laut Indonesia yang luas ini. Sebut saja untuk jenis ikan, masih banyak jenis yang belum tercatat dalam pengetahuan manusia. Sebuah studi penilaian cepat (rapid assessment) terhadap isi laut Kepulauan Raja Ampat,sekitar 80 km sebelah Barat Laut Kabupaten Sorong, Propinsi Papua Barat yang dilakukan oleh tim Conservation International pada pertengahan 2001, menyimpulkan bahwa  salah satu kawasan laut Indonesia Timur itu dihuni oleh 972 jenis ikan karang, 456 jenis terumbu karang,dan 699 jenis moluska/hewan bertubuh lunak. Dari ratusan jenis yang teridentifikasi, tenyata ditemukan tujuh jenis spesies terumbu karang baru dan tiga spesies ikan baru. Sungguh suatu hasil penelitian yang menakjubkan, walaupun belum berdampak banyak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
            Terumbu karang merupakan komponen dari ekosistem laut yang sangat penting. Hal ini dikarenakan selain fungsinya sebagai pencegah erosi pesisir, sumber pangan, juga merupakan sumber mata pencaharian bagi ratusan juta penduduk yang tinggal di pesisir pada lebih dari 100 negara di dunia. Baik berupa sumberdaya laut yang melimpah untuk dipanen, maupun melalui wisatawan yang tertarik dengan keindahannya, keanekaragamannya dan pasir putih pantainya yang terjaga.
            Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhella. Hewan ini memiliki bentuk unik dan warna beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3 atau sejenis zat kapur. Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya yang belum diketahui.
Terumbu karang secara umum dapat dinisbatkan kepada struktur fisik beserta ekosistem yang menyertainya yang secara aktif membentuk sedimen kalsium karbonat akibat aktivitas biologi (biogenik) yang berlangsung di bawah permukaan laut. Bagi ahli geologi, terumbu karang merupakan struktur batuan sedimen dari kapur (kalsium karbonat) di dalam laut, atau disebut singkat dengan terumbu. Bagi ahli biologi terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dibentuk dan didominasi oleh komunitas koral.
Dalam peristilahan 'terumbu karang', "karang" yang dimaksud adalah koral, yaitu sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu. Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan koral. Kerangka karang mengalami erosi dan terakumulasi menempel di dasar terumbu.
Terumbu karang pada umumnya hidup di pinggir pantai atau daerah yang masih terkena cahaya matahari sampai kedalaman kurang lebih 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu karang dapat hidup jauh di dalam laut dan tidak memerlukan cahaya, namun terumbu karang tersebut tidak bersimbiosis dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang. Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat sampai Kawasan Timur Indonesia. Contohnya adalah ekosistem terumbu karang di perairan Maluku dan Nusa Tenggara.
Terumbu karang merupakan suatu kesatuan ekosistem yang kompleks dan rumit  yang memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah penyedia pangan, pelindung pantai, Tempat berpijah, bertelur, dan mencari makan berbagai biota laut, objek wisata bahari, dan tentunya juga sebagai  sumber penghasil bahan baku obat-obatan. Kerusakan terumbu karang akan berakibat pada penurunan fungsinya secara signifikan. Tentu saja tak ada yang dapat diharapkan dari kondisi terumbu karang yang rusak. Tak akan ada lagi sumber penyedia pangan, fungsi perlindungan pantai akan menurun secara drastis, ikan akan semakin terdesak keberadaannya yang mengakibatkan produksi perikanan nasional akan menurun, banyak objek wisata yang yang dapat mendatangkan devisa tidak lagi dilirik oleh wisatawan, juga hilangnya kesempatan untuk dapat meneliti keragaman jenis kehidupan laut bagi kepentingan medis dalam rangka menemukan obat-obatan baru.
            Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, sekitar 46% terumbu karang di indonesia telah mengalami kerusakan yang cukup serius. Secara sadar atau tidak hal ini merupakan akibat dari pengelolaan sumber daya laut yang tidak bijak dan cenderung tidak ramah lingkungan. Eksploitasi berlebihan dengan menggunakan cara-cara instan yang merusak merupakan akar permasalahan yang perlu diambil langkah segera untuk dicermati dan ditindaklanjuti. Penangkapan dan pengambilan hasil laut dengan menggunakan cara yang tidak ramah lingkungan akan berakibat buruk terhadap kekayaan laut. Banyak terumbu karang yang akhirnya mati sebelum berkembang akibat dari eksploitasi sumber daya laut yang tidak ramah lingkungan ini. Penggunaan bom ikan, misalnya akan mengakibatkan hancurnya terumbu karang yang merupakan rumah bagi ikan. Jika karang mati dan hancur ujung-ujungnya akan berakibat pada penurunan jumlah penangkapan ikan. Penggunaan racun untuk menangkap ikan berupa nitrat dan fosfat yang disebar pada terumbu karang ditenggarai juga menjadi biang keladi rusaknya ekosistem terumbu karang.
Selain itu, peningkatan suhu bumi yang signifikan dalam satu dasawarsa terakhir atau yang lazim disebut sebagai fenomena pemanasan global (global warming) juga ikut andil merusak terumbu karang. Hal ini terjadi dikarenakan sifat terumbu karang yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu. Peningkatan suhu perairan indonesia pada tahun 1998 sebesar 20-30 C di atas suhu normal telah mengakibatkan pemutihan (Bleaching) karang yang mengakibatkan kematian massal sekitar 90%-95% dari terumbu karang yang mengalami proses pemutihan.
            Berlatarkan pada kerusakan ekosistem terumbu karang yang marak terjadi dalam beberapa dekade terakhir, banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai kalangan untuk dapat memulihkan kembali kondisi terumbu karang seperti sedia kala. Tentunya ini merupakan sebuah pekerjaan rumah yang besar, baik untuk kalangan pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, serta individu-individu yang peduli akan kelestarian ekosistem terumbu karang. Restorasi terumbu karang merupakan salah satu jalan yang ditempuh untuk dapat memulihkan fungsi dari ekosistem terumbu karang, walaupun tentu saja tidak dapat sepenuhnya mengembalikan fungsi terumbu karang seperti sedia kala.
            Restorasi terumbu karang adalah proses untuk membantu memulihkan suatu ekosistem terumbu karang yang telah menurun fungsinya, baik karena rusak maupun hancur. Restorasi merupakan disiplin ilmu yang relatif baru. Pada dasarnya untuk dapat menciptakan ekosistem terumbu karang sangatlah mustahil dikarenakan sifat  ekosistem terumbu karang yang rumit dan kompleks. Walaupun restorasi dapat meningkatkan upaya konservasi, namun restorasi selalu menjadi urutan ke dua dibanding dengan preservasi habitat alami. Terumbu karang yang relatif tidak mendapat tekanan antropogenik, umumnya dapat pulih secara alami dari gangguan tanpa bantuan manusia, dimana untuk terumbu karang yang sehat dan tidak terdapat tekanan dari manusia mampu pulih kembali dengan rentang waktu 5-10 tahun. Restorasi terumbu karang aktif yang telah dilaksanakan dengan beberapa kesuksesan hanya dalam skala beberapa hektar saja. Hal ini dimungkinkan terjadi dikarenakan masih banyak ketidakpastian yang berkaitan dengan pengetahuan tentang restorasi terumbu karang itu sendiri dengan sifat ekosistemnya yang rumit dan kompleks.
“Restorasi ekologi adalah proses untuk membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah menurun, rusak, atau hancur”, berangkat dari hal ini yang perlu ditegaskan adalah bahwa intervensi restorasi diciptakan untuk membantu proses-proses pemulihan alami. Apabila proses pemulihan alami tersebut tidak berjalan, maka dibutuhkan bentuk pengelolaan lain sebelum intervensi restorasi berpeluang menjadi sukses. “Bantuan” dalam pemulihan alami dapat berupa bentuk pasif/secara tidak langsung, atau dalam bentuk aktif/intervensi langsung. Bantuan pasif dapat berupa perbaikan pengelolaan aktivitas antropogenik yang menghalangi proses pemulihan alami, sementara untuk bantuan aktif dapat berupa restorasi fisik  dan/atau intervensi restorasi biologis (contohnya transplantasi karang dan biota lainnya ke daerah yang terdegradasi).
Restorasi terumbu karang adalah disiplin yang baru dan sangat tidak bijak apabila dengan keras menekankan apa yang dapat dicapai dengan restorasi. Sangatlah tidak bijak apabila para pengambil kebijakan sepenuhnya percaya bahwa terumbu karang yang fungsional dapat diciptakan oleh intervensi restorasi (seperti mentransplantasi organisme terumbu dari lokasi donor, yang ingin berkembang, ke lokasi di luar zona yang terkena dampak), tanpa adanya penelitian secara komprehensif. Kita harus menegaskan kepada para pengambil keputusan bahwa kita masih berada jauh di belakang dalam proses menciptakan kembali ekosistem terumbu karang yang fungsional (dan bahkan kemungkinan tidak akan pernah tercapai!) sehingga keputusan-keputusan yang mengandalkan mitigasi pengganti terumbu akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut.

Daftar Pustaka
Coremap Fase II Kabupaten Selayar-Yayasan Lanra Link Makassar. 2006. Pelatihan Ekologi Terumbu Karang, Benteng, Selayar.
Edwards, A. Dan Gomez, E. 2007. Konsep dan Panduan Restorasi Terumbu : Membuat Pilihan Bijak di Antara Ketidakpastian. Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta
Jurnal Tropika Indonesia Vol.7. No. 3. 2003. Conservation International Indonesia. Jakarta

    Posting Komentar